Karena eSport Lebih dari Sekadar Memencet Tombol Belaka

Karena eSport Lebih dari Sekadar Memencet Tombol Belaka – Stigma bahwa video game membawa dampak buruk terhadap kehidupan seseorang, khususnya anak-anak, sudah melekat dalam pemikiran masyarakat luas. Video game dianggap mengubah sifat orang menjadi malas, anti sosial, serta tidak peka terhadap lingkungan sekitar. Dampak video game juga banyak dirasakan oleh orang tua terhadap sang buah hati. Mereka menganggap, video game menurunkan kemampuan belajar, dan membuat anak tidak fokus untuk menjalankan kewajiban mereka.

Oleh karena itu, tidak heran jika masih banyak masyarakat yang meremehkan keberadaan olahraga elektronik (eSport). ESport hanya dianggap sebagai hiburan selepas penat. Celetukan macam “cuma pencet-pencet ini itu aja kok susah,” juga tak jarang keluar dari mulut seseorang, jika membahas soal eSport. Dalam praktiknya, eSport jauh lebih kompleks dari yang orang bayangkan.

ESport Sebagai Cabang Olahraga

Terdengar janggal memang, membayangkan seseorang duduk di depan layar dan bermain video game sebagai cabang olahraga. Jika kita membandingkan dengan olahraga fisik seperti sepak bola, maraton, atau tenis, eSport tidak banyak bergerak atau mengeluarkan banyak keringat layaknya olahraga tersebut. Lantas, apa yang membuat eSport pantas dianggap sebagai cabang olahraga?

Terdapat banyak perdebatan terkait layak atau tidaknya eSport sebagai sebuah olahraga. Tetapi, jika melihat definisi “olahraga” dalam Cambridge Dictionary maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dapat disepakati bahwa olahraga merupakan Aktivitas yang melibatkan fisik dan keterampilan dari individu atau tim, dilakukan untuk hiburan.

Jika mengacu kepada keterangan tersebut, eSport memenuhi kriteria-kriteria untuk dianggap sebagai olahraga.

Ketika bertanding, atlet eSport memerlukan koordinasi tangan, serta kemampuan untuk berpikir secara cepat dan tepat demi memenangkan pertandingan. Mereka juga harus bekerja sama dalam menentukan taktik dan strategi dalam berkompetisi, layaknya olahraga tim lainnya. Dan nyatanya, eSport sendiri merupakan sesuatu yang banyak digemari oleh masyarakat luas, serta banyak diperbincangkan di kalangan umum.

Membungkam Keraguan

Tentunya, euforia eSport tidak akan lengkap jika tidak membahas aktor utama olahraga ini: atlet eSport.

Kemenangan tim Amerika Serikat Cloud 9 melawan FaZe Clan dalam turnamen CS:GO, keluarnya tim kuda hitam OG dalam turnamen Dota 2, serta Fountain Hook yang dilakukan tim Na’Vi kepada pemain Tongfu dalam turnamen yang sama, adalah beberapa momen ikonik yang tidak mungkin terjadi tanpa keberadaan atlet eSport. Di balik kesuksesan para atlet, terdapat lika-liku yang harus mereka lewati, sebelum akhirnya mampu berdiri di tempat mereka sekarang.

Jauh sebelum atlet eSport memulai karier mereka dalam bidang ini, mereka harus terlebih dahulu berkomitmen terhadap pilihan untuk terjun ke dalam dunia eSport. Mereka dihadapkan dengan situasi di mana mereka harus memilih untuk melanjutkan pekerjaan saat itu, atau banting setir menjadi atlet eSport. Ditambah dengan faktor ketidakpastian dalam memulai karier baru, seakan membuat bibit atlet harus berjudi akan kepastian terkait masa depan mereka.

Sering kali, calon atlet harus berhadapan dengan kekhawatiran dari orang-orang sekitar mereka, terlebih dari orang tua. Jelas, tidak ada orang tua mana pun menginginkan buah hatinya memiliki masa depan yang tidak jelas. Apalagi, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, video game memiliki reputasi buruk di banyak kalangan umum. Amat wajar jika terdapat pemikiran negatif dari orang tua mengenai pengambilan karier sang anak menjadi atlet eSport.

Diperlukan hasrat, dedikasi, serta keinginan kuat dari bibit atlet, untuk membuktikan bahwa mereka layak menjadi atlet eSport. Muhammad ‘Lemon’ Ahsan merupakan bukti bahwa dengan tekad dan kerja keras, seseorang bisa membuktikan dirinya layak mendapatkan apa yang dia inginkan, serta mengubah keraguan maupun kekhawatiran orang lain menjadi pujian dan rasa bangga.

Lemon juga sempat tidak diizinkan untuk menjadi atlet eSport oleh orang tua. Mereka mengkhawatirkan pola hidup Lemon berubah karena video game, seperti meninggalkan makan dan tidur akibat kecanduan bermain. Tetapi, pria asal Banda Aceh tersebut menunjukkan bahwa bermain video game bukan hanya hobi semata, melainkan sesuatu yang dia ingin tekuni.

Untuk menunjukkan keseriusannya, Lemon memberanikan diri untuk keluar dari kuliah, dan fokus ke dalam bidang eSport. Bersama timnya Rex Regum Qeon (RRQ), Lemon berhasil mengharumkan nama Indonesia dengan menjadi juara 3 Mobile Legend Southeast Asia Cup (MSC), dan menjadi salah satu atlet eSport yang disegani oleh lawan.

Latihan, Latihan, dan Latihan

Setiap atlet tentu wajib menjalankan latihan secara reguler. Tujuannya jelas, demi mempertajam serta mempertahankan kemampuan dan juga pemahaman dalam olahraga yang mereka tekuni. Latihan juga dilakukan untuk mempersiapkan kondisi yang optimal, sebelum hari pertandingan berlangsung. Dalam olahraga tim, latihan juga bertujuan untuk meningkatkan kerja sama antar rekan tim dan mempelajari taktik maupun strategi dari tim lawan.

Dalam olahraga fisik, latihan biasa dilakukan dari pagi hingga siang atau sore, di mana kondisi fisik serta metabolisme tubuh masih optimal. Ini juga bertujuan agar atlet bisa beristirahat dengan baik di malam harinya, sehingga mereka bisa memulai latihan sesuai jadwal yang ditentukan pada keesokan harinya.

Berbeda dengan atlet olahraga lainnya, atlet eSport justru melakukan latihan dari siang hingga malam hari, dan bisa berlangsung hingga 12 jam lamanya.

Lamanya waktu latihan yang dijalankan memang terdengar tidak masuk akal. Lagi-lagi menjadi sumber kekhawatiran orang tua terhadap anak mereka yang ingin menekuni eSports. Kendati terkesan tidak logis, jadwal latihan tim eSport sudah dirancang sebaik mungkin untuk mempersiapkan diri sebelum turnamen tiba.

Menjelang SEA Games 2019, tim eSport EVOS Esports memulai latihan tim pukul 14.00, dan berakhir pukul 23.00. Selama berlatih, mereka melakukan latih tanding, dilanjutkan dengan mengulas hasil latihan.

Baca juga: Quad Gods, Tim eSport Kelas Dunia dengan Personel Disabilitas

Ini dilakukan beberapa kali, diselingi oleh makan malam. Setelah latihan usai, anggota tim kembali bermain untuk mendorong peringkat mereka hingga pukul 2 pagi. Jadwal yang melelahkan. Namun, hasilnya EVOS Esports mampu menyabet medali perak dalam kejuaraan se-Asia Tenggara tersebut.

Dedikasi, ambisi, serta etos kerja dari atlet eSport tidak lagi bisa dipandang sebelah mata. Mereka berhasil mendapatkan hasil positif dari sesuatu yang justru dianggap negatif oleh banyak orang. Benar adanya, bahwa eSport “hanyalah” orang yang bermain video game. Namun, segala yang dilakukan para atlet di balik layar untuk mencapai kemenangan, jauh dari “memencet tombol belaka”.